Belajar Dari Anak

Seperti biasa, setiap saya pulang dari kantor, putra pertama saya, Haykal, selalu teriak-teriak menyambut ayahnya, “Ayah.. ayah..”. Itulah salah satu kebagian yang dimiliki seorang ayah. Ketika lelah, sampai dirumah disambut oleh putra-putrinya. Serasa hilang semua lelah seketika itu juga.

Pernah sekali waktu, saya pulang dari kantor dan seperti biasa selalu disambut dengan penuh kehangatan oleh Haykal, saya lansung menggeletakkan begitu saja sepatu saya di dekat pintu masuk. Saking lelahnya (padahal sih seringnya memang begitu… hehe). Eh, Haykal dengan sigap langsung menarik tangan ayahnya sambil berkata, ” Ayah, talo nini.. talo nini Ayah”. Maksudnya taruh sini ayah, sambil menunjuk ke arah rak sepatu.

Waduh, saya terperanjak saat itu juga. Anak sekecil itu sudah mengajarkan ayahnya untuk selalu meletakan sepatu di rak sepatu. Padahal saya sendiri tidak pernah mengajarkan secara langsung untuk menaruh sepatu atau sandal di rak yang sudah disediakan. Pikiran saya menerawang sejenak mencari tahu dari mana Haykal dapat pembelajaran ini, sampai-sampai membuat ayahnya sedikit “malu” karena perbuatannya sendiri.

Anak kecil memang copycat sejati. Segala tindakan yang dia lakukan pastilah dia mengambil contoh dari apa yang pernah dia dengar atau dia lihat. Melalui interaksi dengan orang tuanya, pergaulan dengan tetangga-tetangganya, maupun dari tontonan televisi.

Sejak saat itu, setiap pulang kantor atau sehabis dari luar, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri untuk menaruh sandal atau sepatu di rak yang sudah disediakan. Selain karena “malu” dengan anak sendiri, sekaligus juga untuk memberikan contoh yang baik kepada anak.

Ada beberapa poin yang bisa disimpulkann atas peristiwa diatas.

Pertama, pembelajaran bisa kita ambil dari siapapun, tak terkecuali dari yang jauh lebih muda. Jangan lihat siapa yang memberikan masukan, tapi lihatlah substansi di dalamnya. Walaupun datangnya dari orang munafik sekalipun. Biarlah kemunafikan itu menjadi urusan dia dengan Tuhan. Jangan sampai kita tidak mendapatkan apa-apa. Malah mencibir dengan berkata “Ngaca dong, lu aja masih belum bener, mo nasehatin gua“.

Kalau boleh memberi sedikit nasehat. Biasakan untuk melihat substansi dari sebuah perkataan, jangan dilihat darimana asalnya. Karena, bisa saja malaikat memberikan sesuatu yang baik kepada kita melalui orang yang menurut kita tidak baik.

Kedua, orang tua bertanggung jawab terhadap berkembangan anak-anaknya. Orang tua bertanggung jawab akan seperti anak-anaknya dewasa nanti. Tanggung jawab itu tentunya bermula dari diri para orang tua sendiri untuk selalu memberikan teladan yang baik. Selain itu orang tua juga punya tanggung jawab untuk memberikan pengawasan melekat terhadap apa yang anak-anak mereka dengar dan lihat. Perhatikan pergaulan mereka dengan tetangga dan beri penjelasan mana yang boleh ditiru dan mana yang tidak boleh.

Selain itu, dan mungkin ini kadang terlupakan oleh orang tua. Untuk memilih acara televisi yang pantas disuguhkan untuk anak-anak. Jangan gara-gara tidak mau ketinggalan cerita sinetron favorit, anak-anak menjadi korban. Akhirnya anak-anak terbiasa melihat adegan yang tidak sepantasnya. Adegan pemukulan, adegan seorang anak yang membentak-bentak orang tuanya, adegan mesra-mesraan antara sepasang muda-mudi dan adegan-adegan lain yang biasa diumbar di sinetron-sinetron Indonesia yang seharusnya tidak ditonton oleh anak-anak seusia mereka.

Walah, dari masalah sepatu kok jadi melebar kemana-mana ya. Ya sudah lah. Mumpung masih bisa nulis, tulis aja yang ada di pikiran. 🙂

Sekalian juga mo menyapa kawan-kawan blogger nih. Cukup lama juga saya tidak menulis di blog ini. Ada mainan baru euuyyy. Nanti deh kalau sudah ada hasilnya saya ceritakan.

Salam Bahagia,
Octa Dwinanda

25 thoughts on “Belajar Dari Anak”

    1. mungkin juga mas… makanya milih-milih lingkungan tempat tinggal juga perlu tuh mas 🙂

  1. Sepakat Mas, memang ilmu bisa diperoleh dari mana saja, termasuk juga dari anak kita sendiri. Saya pun sering diperingatkan untuk hal lebih baik oleh anak sendiri. Ya gitu, lumayan sering malu jadinya 😀

    1. DI samping itu, tugas kita sebagai orang tua memang memberi teladan yang baik. Orang tua adalah guru pertama dalam kehidupan seorang anak 😀

  2. Salut dah ma tulisannya, yg penting tu anak g dibiarin (diumabar bahasa jawanya) he,,he,,,

    ttp diperhatiin n diajarin :kusut:

  3. wah….. emang bener tu pak. secapek apapun, klo liat anak2 yg lucu2 n pinter, blasssssssssss capeknya :gaktahan:
    boleh dong pak, kt tukeran link biar bs saling share ttg anak2…
    salam buat keluarga, terutama 2 jagoannya :yoyo:

  4. ketika saya memasukan anak ke PAUD Full Day, sebenarnya beban juga karena seperti tidak memberikan anak ruang waktu untuk bermain, tapi setelah tahu lingkungan rumah yang kurang baik pergaulannya akhirnya saya mantaf untuk mendidiknya bersama guru-guru dari PAUD dan alhamdulilah ada perkembangan signifikan. Dan Alhamdulillah juga si anak udah terbiasa hanya menonton televisi yang khusus anak2.
    Memang bener apa yang kita lakukan, ucapkan akan termemori kuat pada anak!
    BTW ga ada bocorannya nih mainannya?

Leave a Reply to Octa Dwinanda Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *